Sabtu, 10 April 2010

Ibu

I b u

Kata yang paling indah yang keluar dari bibir manusia adalah “Ibu”, dan panggilan paling indah adalah “Ibuku”. Sebuah kata yang penuh dengan segala harapan dan cinta. Sebuah kata yang indah dan merdu yang keluar dari dasar kalbu. Ibu adalah segala-galanya. Dia adalah penghibur kita kala ditimpata kesusahan. Harapan kita dalam kesedihan, dan kekuatan kita dalam kelemahan. Dia adalah sumber cinta, kasih sayang, simpati, dan ampunan. Dia yang kehilangan ibunya berarti telah kehilangan jiwa suci yang mampu memberkati, dan memberikan petunjuk yang tiada hentinya.

Segala sesuatu yang ada di alam ini menjadi perlambang yang memperlihatkan sifat-sifat ibu. Matahari adalah ibu bumi yang memberinya makanan berupa panas. Ia tidak pernah meninggalkan jagad raya ini sendirian di malam hari, hingga menjelang bumi berangkat ke peraduannya di bawah nyanyian-nyanyian laut, senandung burung, dan sungai-sungai. Bumi adalah ibu semua pepohonan dan bunga-bunga. Bumilah yang melahirkan, menyusui, dan menyapih mereka. Dengan benihnya, pepohonan dan bunga-bunga menjadi ibu yang penyanyang terhadap buah-buahan yang baik. Ibu awal mula wajah seluruh kehidupan, jiwa yang penuh cinta dan keindahan. (Khalil Gibran)

Rabu, 07 April 2010

TUHAN

T u h a n

Dan suatu hari awal pekan, ketika datang genta kuil menerpa telinga, seseorang berucap, “Guru, banyak orang terdengar berbicara tentang Tuhan. Apa katamu tentang Tuhan, dan siapakah Dia sebenarnya ?

Tegaklah ia dihadapan mereka, laksana pohon muda, tiada gentar diterpa angin atau dilanda taufan, dia menjawab, “Coba gambarkan, teman tercinta, sebuah hati yang meliputi segenap hati kalian, suatu cinta yang mencakup seluruh cinta kalian, suatu jiwa yang merangkum segenap jiwa kalian, suatu suara yang meliputi semua suara kalian, dan suatu keheningan yang lebih dalam dari semua keheningan, yang abadi.”

“Carilah kini, dan rasakan dalam liputan kabut kedirian, dapat kau pahami keindahan yang lebih elok dari segala keelokan, sebuah kidung yang lebih agung dari nyanyian samudera dan belantara, wibawa yang bersemayam atas tahta, galaksi Orion hanya laksana penyangga kakinya, memegang tongkat tanda wibawa, dan galaksi Pleides tiada lebih kerdipan permatanya.” “kau yang selamanya hanya mencari pangan dan papan, sandang, serta tongkat perjalanan; carilah kini yang Satu, yang bukan sasaran panahmu, bukan gua batu tempatmu berlindung.”

“Dan apabila kata-kataku hanyalah karang serta penghalang, cari jualah, demi terkuaknya hatimu, agar pertanyaan ini mengangkat diri pada kasih dan kebijaksanaan Maha Tinggi yang disebut Tuhan.”

Merekapun terdiam, semua bungkam membisu oleh hati yang tercekam; Al Mustafa tergetar oleh rasa iba kepada mereka, ditatapnya semua dengan pandangan mesra, sambil berkata, “Baiklah, kita tidak bicara lagi tentang Tuhan yang Maha Agung. Mari kita bicara tentang tetangga dan sanak saudara, tentang unsur-unsur alam di sekitar wisma dan ladang garapan.”

“Dalam khayalan kalian akan terbang ke tengah awan, dan menganggapnya telah amat tinggi; kalian menyeberangi lautan luas, mengira menempuh jarak amat jauh. Tetapi aku berkata padamu, bahwa bila kau tanam benih dalam tanah, akan kau capai ketinggian lebih melangit; dan bila kau sambut pagi jelita dengan sapaan suka cita pada tetanggamu, kau telah mengarungi samudera yang lebih luas.”

“Terlalu sering kau nyanyikan nama Tuhan, Yang Maha Agung, namun sebenarnya kau tidak pernah mendengar lagu yang sebenarnya. Lebih baik kau dengarkan kicau burung menyambut sinar pagi, dan gemerisik dedaunan gugur tertiup angin kencang. Pesanku lagi, ingatlah ini; baru akan terdengar simfoni, tatkala daun gugur ke bumi !”

“Sekali lagi aku minta, jangan sembarangan membicarakan Tuhan, yang adalah segala. Namun pupuklah saling mengerti antar kalian, tetangga dengan tetangga, pujaan dengan pujaan, teman dengan teman.”

“Sebab, siapa yang akan menyuapi anak burung dalam sarang, apabila sang induk terbang ke angkasa ? Dan bunga anemone mana yang akan terbuahi, apabila tidak disantuni lebah dari anemone lain ?”. “Baru ketika tercekam dalam gua sempit, kau terpikir mencari langit yang kau sebut Tuhan. Tembus dulu tabir pribadi besarmu; jangan tinggal diam berpangku tangan, mulailah membabat hutan rasa dan pikiran !”

Para pelaut dan teman-temanku, lebih bijaksana tak kita bicarakan Tuhan, yang tidak kita mengerti. Lebih utama kita persoalkan perihal yang dapat kita pahami. Namun engkau tahu, bahwa kitalah nafas dan wewangian Tuhan. Dia pun bersemanyam dalam dedaunan, bunga-bungaan, dan buah-buahan.” (Khalil Gibran)